Ilmu Budaya Dasar (Budaya)
Terkikisnya Budaya
Wanita Minangkabau
Seiring meninggalnya Rohana Kuddus, Siti Nurbaya, Mambang
Jawari, dan sederet tokoh wanita Minang lainnya, peradaban dan budaya wanita
Minangkabau juga ikut serta meninggalkan bumi Ranah Minang ini. Ironis memang
pernyataan ini. Tapi fakta membuktikan remaja Minang yang seharusnya berkiprah
sebagai cendikia penerus Minangkabau, justru mulai beranjak meninggalkan ciri
khasnya, yang sebenarnya merupakan jati diri sebagai orang Minang. Sangat
sedikit yang masih menyadari bahwa sebentar lagi gadis Ranah Minang akan kehilangan
jati dirinya.
Banyak sekali fenomena yang dapat kita lihat di sekeliling
kita, yang menjadi bukti bahwa kebudayaan wanita Minang kian terkikis dan
berangsur pudar.
Kita tak perlu meneliti jauh ke pelosok daerah untuk membuktikan pernyataan ini. Padang juga bisa dijadikan ladang survey untuk membuktikannya.
Kita tak perlu meneliti jauh ke pelosok daerah untuk membuktikan pernyataan ini. Padang juga bisa dijadikan ladang survey untuk membuktikannya.
Duduklah sebentar di pinggiran pantai Padang bersama sanak
famili atau mungkin orang tua, sambil menikmati indahnya matahari terbenam
ditemani dengan setongkol jagung bakar dan aqua gelas dingin pelepas dahaga. Di
saat rasa syukur kita mulai menyeruak mengagumi kesempurnaan ciptaan dan nikmat
Allah SWT, pastilah akan buyar ketika kita mulai menolehkan pandangan kita
melihat ke sekeliling.
Dimulai dengan segerombolan wanita-wanita yang duduk berkelompok
bersama rekan mereka, sambil tertawa riang gembira. Tapi mereka tidak sadar,
beberapa pasang mata tengah menggeriliya tubuh mereka, memperhatikan dengan
seksama lekuk indah tubuh mereka. Bersyukurlah jika mata jahil tadi hanya
numpang menikmati melihat tubuh wanita itu. Coba bayangkan jika mata itu
berubah menjadi otak kotor yang ingin menodai wanita itu? Naudzubillahi min zalik. Tapi hal ini tidak akan terjadi jika
seandainya para wanita itu tidak mengundang nafsu lelaki jika mereka mengenakan
baju yang tidak memancing syahwat.
Inilah perbedaan nyata yang terjadi antara wanita Minangkabau
sekarang dengan wanita Minang dahulu, saat Adat Basandi Syara’, Syara’ basandi
Kitabullah masih dilaksanakan. Dahulu anak gadis Minang banyak yang memakai
baju kurung sedangkan sekarang kita temui gadis Minang yang memakai baju
kurang, bahkan minus. Tahun 1980-an hingga 1990 sebelum memasuki abad milenium
biasanya orang dewasa dan remaja berpakaian longgar. Baru era globalisasi
ditemukan anak gadis memakai pakaian sempit yang seharusnya dipakai oleh
adiknya. Kalau dahulu orang memandang bahwa anak gadis berpakaian sempit dan
ketat dianggap “asing” sedangkan sekarang melihat anak gadis berpakaian
longgarlah yang dianggap “asing” dan “kolot”. Fenomena ini sama persis seperti
hadist Rasullullah yang diriwayatkan oleh Muslim “bada’al islamu ghariyan wasaya’udu kamaa bada’a ghariyan fathuubaa
lilghuraba”. (Islam itu terasing dan akan terasing seperti pertama kali
muncul). Akan tetapi beruntunglah orang yang dianggap asing atau aneh tersebut,
karena dicintai oleh Sang Khaliknya.
Fenomena ini karena sudah membudaya di kalangan generasi muda
memakai pakaian ketat. Seiring dengan berkembangnya dunia mode dan fashion seolah-olah anak gadis Minang
sekarang tidak mau ketinggalan, baik itu model pakaian, sepatu, aksesoris, segi
pergaulan, dan lain sebagainya.
Pada akhir 1999 memasuki era 2000 adalah puncak dunia mode di
Indonesia yang diadopsi dari konsep-konsep budaya Perancis dan Amerika sehingga
para desainer Indonesia berlomba-lomba mendesain model baju. Berkaitan dengan
cepatnya arus barang sehingga perkembangan model pun merambah di Ranah Minang.
Bisa kita saksikan saja cara berpakaian wanita Minang sekarang yang sudah jauh
dari ajaran agama maupun ajaran adat.
Ketika malam sudah mulai merata, bulan mulai menampakkan
keelokan sinarnya, dan semilir angin malam yang membuat sekujur badan dingin di
tengah gelap malam, maka lihat keadaan tepi pantai. Sekilas mungkin tidak akan
melihat jelas aktifitas warga pantai. Tapi coba telusuri dengan seksama.
Berjalanlah menelusuri pantai dari ujung ke ujung. Maka barulah terlihat
pemandangan yang membuat batin menangis melihat gadis Minang tidak menghargai
lagi budaya dan agamanya. Berdua-duaan dengan yang bukan muhrimnya di belakang
tenda yang sengaja dibuat orang rendah agar perbuatan maksiat lebih leluasa
dilaksanakan. “Naudzubillahi min zalik.”
Sering kita temui anak-anak gadis Minang masih berada di luar
rumah hingga larut malam. Padahal, masa dahulu kalau anak gadis masih berada di
luar rumah di saat Magrib, dianggap sebagai gadis yang tidak baik tingkah
lakunya. Bahkan pada masa sekarang ini, ada orang tua justru memperbolehkan
anaknya untuk pergi berkencan malam minggu bersama lelaki yang bukan muhrimnya,
keluar berduaan. Benar-benar sudah hilang moral orang Minangkabau sekarang ini.
Orang Minang dahulu mendidik anak-anak (terutama anak
gadisnya) dalam konteks pergaulan hubungan pertemanan antara pria dan wanita
sangat dijarakkan. Berbeda pada masa sekarang, wanita dan laki-laki kita temui
berdua-duaan tanpa ikatan di tempat pariwisata atau tempat kencan lainnya.
Padahal, orang Minang menyarankan anak gadisnya untuk menjaga diri dan tahu
dengan batas kesopanan. Namun, kelihatannya amat sangat berbeda dengan masa
lampau, anak-anak muda sekarang tidak tahu dengan malu ataukah malu itu sudah
mulai hilang? Kita sering melihat anak-anak muda di kota Padang maupun berbagai
wilayah di Sumatera barat bermesraan, dan berboncengan seperti layaknya suami
istri. Sosok budaya dan intelektual di abad 21 mengalami pergeseran dari segi
pergaulan, remaja Minang lebih mendominasi pada pergaulan bebas salah satunya
tidak kita temukan lagi rasa malu di kalangan orang minang itu sendiri.
Padahal budaya Minangkabau dalam
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah menempatkan perempuan pada
posisi peran yang sangat mulia. Kadangkala dijuluki dengan sebutan “urang
rumah” (hiduik batampek, mati bakubua, kuburan hiduik di rumah
gadang, kuburan mati di tangah padang), “induak bareh” (nan
lamah di tueh, nan condong di tungkek, ayam barinduak, siriah bajunjuang),
pemimpin (tahu di mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang
jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di
dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang,
tahu di alamat kato sampai).
Pemahamannya berarti perempuan Minang sangat
arif, mengerti dan tahu dengan yang pantas dan patut, menjadi asas utama
kepemipinan di tengah masyarakat. Anak Minangkabau memanggil ibunya dengan bundo
karena perempuan Minangkabau umumnya menjaga martabat. Ada beberapa point
ponting yang dijunjung tinggi. Pertama,
hati-hati (watak Islam khauf), ingek dan jago pado adat, ingek di adat nan ka
rusak, jago limbago nan kasumbiang. Kedua,
yakin kepada Allah (iman bertauhid), jantaruah bak katidiang, jan baserak
bak anjalai, kok ado rundiang ba nan
batin, patuik baduo jan batigo, nak jan lahie di danga urang. Ketiga, Perangai berpatutan (uswah
istiqamah), maha tak dapek dibali, murah tak dapek dimintak, takuik di paham ka
tagadai, takuik di budi ka tajua. Kelima,
kaya hati (Ghinaun nafs), sopan santun hemat dan khidmat. Keenam, tabah (redha), haniang ulu bicaro, naniang saribu aka, dek
saba bana mandating. Ketujuh, Jimek
(hemat tidak mubazir), dikana labo jo rugi, dalam awal akia membayang, ingek di
paham katagadai, ingek di budi katajua, mamakai malu dengan sopan.
Begitulah wanita dalam Minangkabau sesungguhnya,
menurut H. Mas’oed
Abidin. Jika hal ini dipertanyakan lagi kepada wanita
Minang zaman sekarang, maka jawaban beragampun akan keluar apalagi melihat
fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini. Hal yang penting yang harus
diingat adalah seperti pantun dibawah ini:
Rarak kalikih dek mindalu,
tumbuah
sarumpun jo sikasek,
kok hilang raso jo malu,
bak kayu lungga pangabek.
kok hilang raso jo malu,
bak kayu lungga pangabek.
Anak urang koto hilalang
Handak lalu ka Pakan
Baso,
malu jo sopan kalau lah hilang,
habihlah raso jo pareso.
malu jo sopan kalau lah hilang,
habihlah raso jo pareso.
Jadi janganlah sampai rasa malu hilang dari diri
wanita Minangkabau. Dan juga perlu disadari bahwa “bila wanitanya baik, baiklah
negeri itu, dan kalau wanita sudah rusak, celakalah negeri itu
Sumber
: http://williyameta.blogspot.com/2011/08/artikel-ekonomi-islam.html